Cinta Nggak Segampang Matematika
Kalau saja hidup ini segampang matematika, mungkin nggak banyak orang
yang akan terluka. Sepintas lalu kayaknya kalimat ini pasti adanya cuma
di sinetron, tapi percaya deh kalimat ini memang terbukti kebenarannya.
Mungkin kamu bakal protes jika matematika –yang konon bisa bikin rambut
lurus jigrak-jigrak tanpa direbonding atau pake shampoo itu- menurutku
“enggak susah”. Asalkan kita tahu rumus yang tepat, sebenarnya soal-soal
matematika tidak sengeri yang kita kira. Nah, bedanya dengan kehidupan
kita : nggak ada rumus yang pasti tentang bagaimana cara membuat orang
senang, alih-alih yang kita perbuat malah membuat orang bereaksi
sebaliknya. Seperti kata pepatah, “Dalamnya laut bisa diukur, dalamnya
hati siapa yang tahu” – sebenarnya kita toh benar-benar nggak tahu apa
yang ada di dalam pikiran orang lain.
Coba diingat-ingat, pasti banyak
kan dari kita pernah merasakan salah tingkah dan kebingungan menghadapi
bermacam-macam polah tingkah orang lain? Rasanya badan jadi kaku dan
dingin kaya diguyur air es dari langit. Kita merutuk dalam hati,
andaikan ada rumus praktis (namun sayang, hidup bukanlah UMPTN) untuk
mengetahui bagaimana perasaan orang lain.
Bahkan aku yang kuliah di
jurusan psikologi –dan sebagian besar orang lantas berpikir bahwa dengan
itu aku bisa meramal kepribadian orang lain hanya berdasarkan pandangan
pertama saja– kadang-kadang tetap mengalami dilema dalam hubungan
interpersonal. Duh…!
Jadi, matematika mungkin masih lebih gampang. Tapi kamu masih saja boleh nggak sepakat, lho!
Kadang ini nggak ada hubungannya dengan jenis kelamin, namun tetap saja
aku merasa bahwa diriku lebih rasional dalam memandang hidup
dibandingkan dengan orang-orang lain. Bahkan memandang cinta sekalipun.
Boleh jadi teman-temanku mengira aku adalah orang yang memandang cinta
dengan sinis; meskipun nggak benar seperti itu. Ada temenku yang bilang,
“Udah dirasain aja apa susahnya sih? Daripada dipikir melulu”. Tapi aku
tetep aja keukeuh untuk berpikir beberapa kali lagi, agar bisa
jatuh cinta pada orang yang tepat. Karena aku yakin bahwa jika kita
jatuh cinta cuma bermodalkan perasaan dan hawa nafsu, kalau terjadi
sesuatu yang buruk, rasanya pasti kaya kebanting ke lantai. Sakit.
Aku punya seorang teman yang kayaknya jatuh cinta itu nggak ada bedanya
sama memancing ikan. Nyaris nggak pilih-pilih. Asalkan umpan disambut,
ditarik deh pancingnya. Tapi ya karena tak pernah berpikir panjang,
akhirnya sering hubungannya nggak pernah langgeng. Ia jadian sebanyak ia
putus hubungan. Merana sekali tampaknya.
Di mata temen-temen lainnya,
ia juga sudah dipandang sebelah mata. Habisnya kok kesannya “gampangan”
banget gitu lho. Dan entah akhir-akhir ini ia selalu tampak sendirian.
Entah karena mungkin kepercayaan diri dia mulai rapuh atau bisa juga
tobat. Semoga aja karena alasan yang terakhir tadi deh.
Bukan berarti aku nggak pernah jatuh cinta. Dulu aku pernah jatuh cinta
ketika masih SMP. Aku inget banget waktu itu pas lebaran. Saat itu aku
mengirim kartu lebaran bermerek Harvest yang bergambar cewek-cowok
dewasa persis kaya ilustrasi di majalah-majalah remaja waktu itu. Mana
kalimatnya romantis lagi.
Akhirnya sewaktu hari pertama sekolah setelah liburan panjang lebaran.
Aku bertemu dia. Wajahnya sudah merah saat melihatku. Temen-temen
se-gank-nya sudah bersorak-sorak.
Aku merasa aneh. Ada apa, ya? Ada yang
kelepasan bilang, “Kamu suka sama si X, ya Lang?”
Pucet deh mukaku. Kok semua pada tahu ya?
Tanggapan si dia-yang-kucinta itu pun tampak dingin dan semakin
menjauhiku. Padahal dulu pernah deket banget.
Tapi ya mau bagaimana
lagi, memang sudah resiko. Beberapa hari kemudian setelah kejadian itu
aku menyesal, kenapa juga kirim kartu lebaran yang bergambar seperti itu
tanpa pikir panjang. Padahal aku sebenernya cuma nulis “Mohon Maaf
lahir Batin” doang. Nggak ada embel-embel “I Love you” sama sekali.
Tapi
mungkin memang kalimat-kalimat yang tercetak di kartu lebaran itu
memang sudah sedemikian gamblangnya menerangkan maksudku. Jadi deh,
ditolak sebelum ngomong langsung. Kayaknya kejadian gini cuma dialami
oleh aku deh. Makanya pengalaman itu menjadi pegangan bagi aku untuk
lebih bijaksana dalam memandang kehidupan ini.
Bagiku, cinta itu memang misterius –dan mungkin selamanya akan seperti
itu. Kadang-kadang aku nggak pernah menemukan alasan logis kenapa jatuh
cinta bisa mengubah sikap orang seratus delapan puluh derajat. Aku kenal
seseorang yang sangat realistis tetapi tiba-tiba menjadi begitu
melankolis ketika jatuh cinta, memandang senja dengan tatapan rindu,
tersenyam-senyum sendiri dalam perjalanan, dan rajin menyambangi kios
bunga. Suatu kali dia mengeluh kepadaku bahwa pacarnya sangat cuek
kepadanya. Tetapi buru-buru ia membuat pemakluman “Tapi nggak apa-apa,
orang pisces kan emang biasanya gitu, kan?” Duh.., saya jadi khawatir
kok bisa-bisanya orang serealistis dia bisa menghubung-hubungkan antara
sifat dengan zodiak?
Jika disuruh memilih, mungkin aku lebih suka hubungan pertemanan
ketimbang percintaan –meski aku tahu bahwa suatu saat akupun pasti akan
jatuh cinta (lagi).
Kedengarannya klise, ya? Tapi aku punya alasanku
sendiri kok! Sebenarnya ada perbedaan mendasar antara hubungan
percintaan dengan hubungan pertemanan. Percintaan itu dilandasi oleh
rasa posesif (rasa ingin memiliki), sedangkan hubungan pertemanan
didasari atas rasa saling percaya.
Kamu boleh-boleh aja protes bahwa
hubungan antar kekasih dilandasi atas rasa saling percaya. Tapi pasti
kamu akan kesulitan untuk menerangkan dari mana datangnya rasa cemburu.
Perasaan posesif itu yang kemudian melahirkan ritual wakuncar (waktu
kunjung pacar) saban malam minggu.
Coba deh, kamu pasti akan
dicemberutin sama pacar kamu kalau malam minggu nggak “ronda” ke
rumahnya. Rasa posesif yang berlebihan juga lah yang menjadi penyebab
hubungan cinta jarak jauh akhirnya nggak berhasil. Bawaannya curiga dan
cemburu melulu. Selalu aja bertanya, “Kamu lagi nggak sama siapa-siapa
kan di sana?”
Coba sekarang bandingkan dengan hubungan teman. Kita kan nggak bisa
protes bila sahabat kita memiliki sahabat lain selain kita? Itu hak-hak
dia dong punya sahabat lain selain kita. Hubungan pertemanan juga
menghasilkan sebuah ikatan unik yang menyebabkan kita bisa mengobrol
akrab dengan teman kita yang mungkin sudah lama nggak kita jumpai.
Pokoknya yambung aja gitu. Nggak ada sama sekali perasaan cemburu.
Mungkin ada sedikit perasaan dongkol, namun tetap nggak menjadikan kamu
memutuskan hubungan dengannya sebagai seorang teman, bukan?
Kalau dengan pacar, jarang ketemuan, bisa-bisa dieleminasi deh!
Jadi, nggak salah bukan bila aku akhirnya lebih merasa hubungan antar
teman lebih berharga daripada hubungan dengan kekasih. Banyak
orang-orang spesial yang kujadikan sahabat, karena semata-mata aku
meletakkan posisi sahabat lebih tinggi daripada kekasih.
So.., jika suatu kali kamu menyatakan perasaanmu kepada orang lain, dan
ditanggapi dengan jawaban “Lebih baik kita jadi teman saja, ya?”,
seharusnya kamu malah merasa lebih terhormat, dong.
Aku sedang sibuk menyelidiki misteri tentang cinta (kayak judul lagu,
ya?).
Cinta itu sebenernya nggak pernah memberi lebih. Bahkan nggak
jarang cinta merenggut apa yang kita punyai : waktu, tenaga, pikiran,
uang, dan masih banyak lagi. Tetapi cinta membuat hidup kita lebih
berharga. Sedikit yang diberikan oleh orang yang kita cintai terasa
berharga. Kekasih kita menjadi sedemikian cantiknya, hingga Dian Satro
pun lewat. Orang lain akan menganggap kita gila. Kok bisa ya, cuma
dibelikan semangkuk bakso saja senengnya selangit? Tapi orang yang
kasmaran itu pasti menganggap cinta itu enak gila…
Dalam operasi matematika, cinta itu adalah hubungan perkalian. Ahli-ahli
kimia bilang cinta itu adalah katalisator.
Dengan satu ucapan yang
menghibur dari orang yang kita cintai, hati kita bisa melambung hingga
ke negeri antah-berantah.
Tetapi satu bentuk kekecewaan yang dilakukan
oleh orang yang kita cintai pada kita, duh sakitnya pasti akan membekas
sampai lama. Kita bisa jadi sangat terhibur karena cinta, namun
sebaliknya bisa juga menjadi sangat tersakiti oleh cinta.
Aku beberapa
kali menemui orang-orang yang mengalami trauma dalam cinta dan berjanji
tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Menyedihkan sekali, bukan? Aku hanya
bisa mengatakan, tanpa cinta pun hidup kita sudah membingungkan. Ini
juga didukung oleh Hukum Termodinamika II, yang berbunyi entropi selalu
positif, yang artinya : alam termasuk manusia akan cenderung menuju ke
arah ketidakaturan.
So, sebenarnya tidak ada masalah dalam hidup,
asalkan kita bisa mengendalikannya. Cinta nggak pernah bersalah kok!
Baik-buruknya kualitas cinta itu tergantung pada kita, gimana cara kita
menjalaninya. Pengalaman dan kegagalan yang dulu kan bisa menjadi cermin
bagi kita agar tidak melakukan kesalahan yang sama. Bagaimanapun juga,
yang memisahkan antara kegagalan dan kesuksesan adalah usaha. Yah, tapi
kita memang harus memulainya.
Dan untuk itu modalnya cuma satu. Nyali.
Nah, apakah kamu punya?
Apabila kita bertaruh untuk merasakan cinta dalam hidup kita, menurutku
pilihan untuk mencoba jatuh cinta lagi tidaklah terlalu buruk.
Beruntung aku adalah seorang penulis sekaligus orang yang mengenyam
pendidikan psikologi. Itu adalah tiket bagi orang-orang untuk curhat
kepadaku. Asyik sekali mengetahui dan belajar dari pengalaman orang lain
tanpa harus mencari apalagi membayar. Bukan hanya satu-dua orang saja
yang bercerita tentang pengalaman cintanya lho.
Meskipun kadang aku
nggak benar-benar bisa menyelesaikan masalah dan bahkan merasakan
perasaan mereka –karena bagaimanapun juga aku bukan orang yang
benar-benar mengalami kejadian yang sama– tetapi dengan menjadi
pendengar pun sudah cukup bagi mereka. Beberapa kali aku malah berbuat
terlalu jauh dalam hubungan percintaan orang lain. Seperti misalnya, aku
terlibat di tengah hubungan cinta yang unik antara perempuan Indonesia
dengan lelaki asing.
Hubungan mereka bertambah menarik karena umur
perempuan tersebut lebih tua delapan tahun daripada yang laki-laki.
Nggak tahu kenapa aku kemudian mereka anggap sebagai mak comblang, hanya
karena memperkenalkan mereka berdua.
Sering aku diajak ngobrol sembari
ditraktir di rumah makan mewah.
Hampir setiap kali diajak, aku yang
memang hobi banget makan nggak pernah bisa nolak.
Mungkin ini ya enaknya
jadi mak comblang….
Meskipun hingga saat ini aku secara pribadi nggak begitu sepakat dengan
pacaran –terutama cara pacaran remaja akhir-akhir ini yang kayaknya
makin syuerem deh.., tetapi aku sama sekali nggak menentang cinta. Malah
pekerjaanku sebagai penulis sangat terbantu karena cinta. Dulu ketika
aku masih belum memahami apa itu cinta, tulisanku terasa kering, datar,
dan tanpa emosi.
Di satu sisi aku melecehkan cerita-cerita yang menjual
cinta-cinta gombal, tetapi di sisi lain aku mengakui kekurangan
tulisanku terdapat dalam cerita-cerita seperti itu. Makanya, setiap kali
pergi ke taman bacaan kemudian aku selalu menyempatkan mencomot
novel-novel Harlequim atau TeenLit (bahkan ChickLit) di antara
novel-novel science-fiction karya Michel Critchon atau novel misteri
Agatha Christie yang biasa kubaca. Pertama-tama ada perasaan enggan dan
sedikit jijik, tentu.
Tetapi aku merasa bahwa perasaan seperti ini
lumrah jika ingin mempelajari sesuatu yang baru sekaligus beda dari
keseharian kita.
Hasilnya, aku semakin memahami cinta. Cinta bagiku itu ibarat vitamin C.
Bikin semangat dan memandang hidup jauh lebih baik. Cinta melahirkan
sentuhan emosi yang bertingkat-tingkat pada simbol-simbol tertentu (contoh: bunga, warna
pink, dll)
–sesuatu yang dulu tidak kupahami (ingat pengalamanku tentang
Kartu Ucapan Harvest, kan?). Mengarang bagiku sekarang tak ubahnya
seperti menulis surat cinta yang penuh dengan bahasa yang terpilih
sekaligus menggigit. Ada perubahan dalam bagaimana cara memandang
sesuatu hal dan juga bagaimana cara menimbulkan kesan dari ragam pilihan
bahasa yang dipilih. Secara otomatis, dengan cinta, aku merasa bahwa
hidupku menjadi makin kaya dan semakin bersemangat untuk menulis lebih
banyak hal lagi. Bener deh kata Mas Guruh Soekarno Putra : Mahadaya
Cinta!! Rugi kalau nggak pernah jatuh cinta!
Seperti dalam sebuah lirik sebuah lagu “love doesn’t have to hurt”:
cinta nggak boleh saling menyakiti, menekan, apalagi memaksa. Ini
berlaku untuk kedua belah pihak lho. Kamu nggak boleh menuntut orang
yang kau cintai untuk memperhatikanmu terus-terusan, di lain pihak kamu
juga nggak boleh menuntut dirimu untuk terus-terusan memaklumi orang
yang kau cintai jika ia berkali-kali melakukan kesalahan yang sama.
Cinta itu tetep ada batasnya. Kadang-kadang sebuah hubungan akan lebih
baik jadinya apabila kita nggak berhubungan.
Bisa jadi hingga akhir orang tidak akan pernah tahu misteri cinta.
Mungkin pada saat rumus-rumus matematika telah terungkap semuanya, cinta
masih berenang-renang dengan anggunnya di area ketidaktahuan dalam
pikiran manusia dan orang-orang masih ramai membicarakannya. Namun
mungkin itu lebih baik. Karena orang-orang akan selalu penasaran,
bertanya, mencari, dan merasakan cinta. Cinta memang mungkin selamanya
nggak akan lebih gampang daripada matematika. Tetapi bila kita bisa
memperlakukan dengan bijaksana, cinta pasti akan jauh lebih menyenangkan
ketimbang matematika.
Kamu sepakat?
----oo----







0 komentar:
Posting Komentar